
Lampung Selatan, Kabarlampung.co – Disebuah rumah sederhana di Kalianda, hidup seorang wanita tunanetra berinisial DIY yang kini menanggung luka yang tak terlihat mata, namun menghantam batinnya seperti badai. Malam kelam pada 27 Oktober 2025 itu mengubah seluruh hidupnya.
Korban yang selama ini dikenal baik hati, mendatangi rumah tetangganya untuk menemani ibu terduga pelaku yang sedang sakit. Namun niat tulus itu justru dibalas dengan tindakan keji yang diduga dilakukan oleh Edi, pria yang disebut-sebut telah memiliki dua istri dan dikenal warga Sukaraja, Kecamatan Palas.
Sejak malam itu, dunia DIY runtuh.
Keterbatasan penglihatan dan dugaan ancaman dari pelaku membuat korban terperangkap dalam ketakutan yang gelap. Ia menutup diri, menangis dalam diam, bahkan sempat berniat mengakhiri hidupnya karena merasa hidupnya tak lagi berarti.
Keesokan harinya, keluarga yang panik dan hancur hati langsung melapor ke Polres Lampung Selatan. Namun dua bulan berlalu, langkah hukum terasa terhenti.
Terduga pelaku masih bebas berkeliaran, seolah tidak ada dosa yang harus dipertanggungjawabkan. Situasi ini membuat keluarga korban merasa diperlakukan tidak adil.
Keputusasaan itu membuat Dinas PPA Lampung Selatan turun tangan.
Konselor PPA, Umi Rahmawati, menjadi saksi langsung betapa rapuhnya korban saat pertama kali ditemui.
“DIY dalam keadaan shock berat, tidak mau bicara, tidak mau ditemani siapa pun. Kami harus mengetuk hatinya perlahan-lahan,” ujarnya.
Setiap hari, konselor menyambangi DIY, berusaha membuka pintu yang tertutup oleh trauma. Perlahan, seperti embun yang mengurai pagi, kondisi korban mulai membaik.
Setelah sebulan penuh pendampingan, DIY akhirnya kembali berani berbicara dan menatap hidup, meski luka batin itu masih dalam.
Namun satu hal yang belum pulih: keadilan.
Kepala UPT PPA Lampung Selatan, Acam Suryan, menyuarakan kekesalan yang selama ini tertahan oleh keluarga korban.
“Ini sudah dua bulan lebih. Korban adalah penyandang disabilitas, kelompok yang seharusnya paling dilindungi. Kami mendesak Polres Lampung Selatan untuk segera menangkap terduga pelaku,” tegasnya.
Acam Surya menambahkan, membiarkan pelaku berkeliaran hanya memperpanjang penderitaan korban dan menimbulkan keresahan baru bagi masyarakat.
“Korban sudah berjuang untuk bangkit. Sekarang giliran pihak berwenang memberikan kepastian hukum,” ujarnya.
Kini, keluarga korban menunggu dengan harapan yang tersisa—bahwa kasus ini tidak akan menjadi satu dari sekian banyak cerita korban yang akhirnya dilupakan.
Mereka mendesak, memohon, dan menuntut keadilan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara. (RY)








